Sunday 14 April 2013

Khauf dan Raja' (Takut dan Harapan)


Terdapat 2 (dua) hal dalam sisi spiritualitas seorang Muslim yang harus seimbang. Kedua hal tersebut adalah: Pertama,  ketakutan dan kekhawatiran atas siksa dan azab Allah akibat perbuatan dosanya. Dalam istilah agama kondisi ini disebut Khauf (rasa takut). Kedua, pengharapannya atas kemurahan, pengampunan dan kasih sayang Allah. Kondisi ini disebut dengan istilah Raja’. Konsep Khauf dan Raja’ dalam dunia spiritualitas (tasawuf) dianggap sebagai salah satu haal (kondisi) yang mesti dilalui atau dialami orang yang menapak jalan menuju Allah. Keseimbangan secara proporsional kedua kondisi ini diperlukan agar seseorng tidak tenggelam dalam satu kondisi saja, apakah itu Raja’ saja atau Khauf saja.


Pemahaman dua kata ini di sebagian kalangan seringkali rancu, hal itu karena masing-masing dari keduanya memiliki batasan syar’i, bila batasan ini dilampaui, maka ia membawa kepada sesuatu yang tercela. Ketakutan yang sangat yang melebihi batas menyeret kepada sikap berputus asa dari rahmat Allah. Sedangkan harapan yang bersih dari rasa takut menyeret kepada angan-angan dan tipu daya.
Seorang hamba harus takut sekaligus berharap, rasa takut yang benar sekaligus terpuji adalah rasa takut yang menghalangi pemiliknya untuk melakukan larangan-larangan Allah, bila lebih dari itu maka ditakutkan lahir sikap putus asa dan hilang harapan. Sedangkan harapan yang terpuji adalah harapan kepada amal ibadah dengan menaati Allah di atas cahaya dari Allah, dia berharap pahalaNya atau seorang laki-laki melakukan dosa kemudian dia bertaubat kepada Allah, dia berharap ampunanNya. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 218).
Perhatikanlah bagaimana mereka berharap sekalipun mereka beriman dan menjalankan ketaatan-ketaatan tersebut? Harapan yang benar adalah yang diikuti dengan pelaksanaan terhadap sebab-sebab yang menjadi tuntutan dari hikmah Allah Ta’ala, syariat, takdir, pahala dan kemuliaanNya. Seandainya ada seseorang yang memiliki sebidang tanah, dia berharap tanah tersebut menghasilkan sesuatu yang bermanfaat baginya, namun dia membiarkannya terbengkalai, tidak mengolah dan tidak menanaminya, dia berharap tanah tersebut tetap akan menghasilkan seperti tanah milik orang yang lain diolah, ditanami dan dirawat, niscaya orang-orang menganggapnya orang yang paling dungu.
Demikian pula bila dia berharap dan membaguskan dugaannya bahwa dirinya akan memiliki anak tanpa menikah, atau menjadi ulama paling hebat di zamannya tanpa kesungguhan sempurna dalam menuntut ilmu dan yang semisal dengan ini. Demikian pula dengan orang yang berkhayal dan berharap dengan sangat bisa meraih derajat-derajat tinggi dan kenimatan yang abadi tanpa melakukan ketaatan dan kedekatan kepada Allah Ta’ala dengan menjalan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya.
Perlu diketahui bahwa siapa yang berharap sesuatu maka harapannya itu menuntut beberapa perkara:
Pertama: mencintai apa yang diharapkan.
Kedua: takut bila ia tidak diraih.
Ketiga: berusaha sebisa mungkin untuk meraihnya.
Adapun harapan yang tidak diikuti sesuatu apa pun dari hal ini, maka ia hanyalah angan-angan kosong, harapan adalah sesuatu sedangkan angan-angan adalah sesuatu yang lain. Setiap pengharap adalah penakut, dan orang yang berjalan di sebuah jalan, bila dia merasa takut maka dia akan bergegas karena takut tertinggal.
Lain halnya dengan seseorang yang bersikukuh dalam keteledoran dan kesalahan, namun begitu dia tetap berharap rahmat Allah tanpa melakukan apa pun, maka hal itu adalah angan-angan kosong, tipu daya dan harapan palsu.
Abu Ali ar-Raudzabadi berkata, “Takut dan harapan sama dengan dua sayap burung, bila keduanya seimbang maka burung akan terbang dengan lurus, bila salah satu dari keduanya berkurang, maka terjadilah kekurangan padanya, dan bila keduanya lenyap maka burung itu mendekati batas kematian.”
Allah telah memuji orang-orang yang takut sekaligus berharap dengan firmanNya,
Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?” (Az-Zumar: 9).
Allah Ta’ala berfirman, “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap.” (As-Sajdah: 16).
Harapan menuntut rasa takut, bila tidak maka ia adalah rasa aman, sedangkan rasa takut menunut harapan, bila tidak maka ia adalah putus asa dan hilang harapan.
Bila kamu takut kepada sesuatu maka kamu menjauh darinya kecuali Allah Ta’ala, bila kamu takut kepada Allah, maka kamu berlari kepadaNya, orang yang takut berlari dari Rabbnya kepada Rabbnya.
Dalam ash-Shahih dari Nabi saw bersabda,
يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي.
“Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku menurut dugaan hambaKu kepadaKu.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Dalam Shahih Muslim dari Jabir berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda tiga hari sebelum wafat,
لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِربه
Janganlah salah seorang di antara kalian mati kecuali dia menduga baik kepada Tuhannya.” Diriwayatkan oleh Muslim.
Oleh karena itu ada yang berkata, “Hendaknya harapan hamba saat dia sakit lebih kuat daripada rasa takutnya, lain halnya saat sehat, hendaknya rasa takutnya lebih kuat daripada harapannya.”
Sebagian dari mereka berkata, “Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan cinta saja maka dia zindik. Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan takut saja maka dia Haruri. Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan cinta, takut dan harapan maka dia adalah mukmin ahli tauhid.”
Mahmud al-Warraq telah berkata dengan baik,
Sekiranya kami melihat pahala dari amal kebaikan
Yang kecil niscaya kamu takjub kepada kebesarannya
Sekiranya kamu melihat balasan dari amal keburukan
Yang remeh niscaya kamu khawatir akibat buruknya. Wallahu a’lam.
Syarah Thahawiyah, Ibnu Abil Izz al-Hanafi. 

Ketika seseorang berada dalam kondisi khauf, maka yang selalu terbayang baginya adalah siksa dan azab Allah yang sangat pedih. Bagaimana tidak? Bukankah hidup ini penuh dengan godaan dosa. Di setiap langkah, laku, dan ucap, selalu saja ada salah dan khilaf. Nikmat Allah berupa mata untuk melihat hanya pantas memandang hal-hal baik. Manakala mata tersebut digunakan memandang hal yang haram maka yang paling pantas untuknya adalah mengembalikan mata itu kepada Allah. Telinga, tangan, kaki, dan segala organ tubuh yang Allah karuniakan kepada manusia hanya diperuntukkan untuk melaksanakan ketaatan. Manakala digunakan untuk maksiyat, maka seseorang tidak berhak lagi atas segala karunia itu. Dan Allah ‘sangat’ berhak untuk menyiksa siapapun yang menyalahgunakan nikmat dan karunia-Nya. Dalam kondisi ini, tidak seorang pun yang boleh merasa aman dari siksa tersebut. Allah berfirman dalam QS. Al-A’raf: 99: 
فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
Artinya: “Tiada seorang pun yang merasa aman dari siksa Allah kecuali dia termasuk golongan yang merugi”.

Sebaliknya, dalam kondisi rajaa’, seseorang dapat memastikan bahwa dia pasti mendapat rahmat, kasih sayang, dan ampunan Allah. Bagaimana tidak? Padahal orang kafir pun, sebagaimana hadis di atas, berhak untuk berharap masuk syurga. Bahkan Allah melarang siapapun untuk berputus asa dari rahmat-Nya. Allah berfirman dalam QS. Yusuf: 87:
إِنَّهُ لا يَايْئسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
Artinya: “Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali golongan orang-orang kafir”.

Dalam sebuah hadis juga disebutkan: “Sungguh Allah lebih berbahagia dengan taubat hamba-Nya ketimbang seorang yang kehilangan hewan kendaraannya di daerah tak bertuan.Hewan beserta makanan, minuman dan segala perbekalannya hilang. Orang itu putus asa untuk menemukan hewan kendaraannya. Ia datang ke sebuah pohon dan tertidur di bawah naungannya. Tapi tiba-tiba ketika bangun, hewan yang hilang itu berdiri di sisinya. Ia pun memegang tali kekangnya. Saking gembiranya ia salah ucap dan mengatakan, “Ya Allah engkau hambaku sedang aku Tuhanmu…" (HR Muslim).

Ketika seseorang terlena dalam optimisme yang tinggi (rajaa’), dia tidak merasa khawatir akan dosa-dosa yang telah, sedang, atau akan diperbuatnya. Baginya, ampunan Allah demikian luas sehingga dia dapat bertaubat kapan saja. Dia akan merencanakan taubat setelah puas melakukan kemaksiyatan. Sebaliknya, dalam keadaan khauf yang berlebihan, hidup seseorang akan kacau dan tidak terkendali. Rasa bersalah dari dosa besar yang telah dilakukannya menutupi harapannya untuk kembali ke jalan yang benar. Dia merasa dan meyakini bahwa apapun kebaikan yang diperbuatnya tidak akan sebanding dengan dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya. Akibatnya, dia tidak segera bertaubat, namun terus menenggalamkan diri dalam kemaksiyatan.

Yang layak bagi seorang muslim dan mukmin adalah konsep keseimbangan spiritualitas. Yakni menggabungkan antara Khauf dan Rajaa’ dalam porsi yang benar. Dalam kondisi Khauf, dia meyakini betul akan siksa jika dia melanggar aturan-aturan agama. Namun saat terlanjur dan tergelincir dalam dosa dan maksiyat, dia segera bertaubat dan yakin bahwa taubatnya akan diterima. Optimisme atas kasih sayang dan ampunan Allah membuatnya tersenyum di setiap saat. Namun takutnya kepada siksa atas dosa membuatnya mencucurkan air mata di tengah malam saat shalat tahajud.

No comments:

Post a Comment