Tuesday 30 April 2013

Pedoman Menuju Kemandirian Spiritual

Ummu Aiman, Menangis karena Melemahnya Kekuatan Islam

Bumi yang kita tempati adalah planet yang selalu berputar, ada siang ada malam. Roda kehidupan dunia juga tidak pernah berhenti, kadang naik kadang turun. Ada suka ada duka. Ada senyum ada tangis. Kadangkala dipuji tapi pada suatu saat kita dicaci. Jangan harapkan ada keabadian perjalanan hidup. Oleh sebab itu agar tidak terombang ambing dan tetap tegar dalam menghadapi segala kemungkinan tantangan hidup kita harus memiliki pegangan dan amalam dalam hidup. Salah satu pegangan dan amalan penting yang diberikan agama kita untuk menghadapi kehidupan ini adalah Istiqomah, Istikharah dan Istighfar.

1.        Istiqomah, yaitu kokoh dalam dalam aqidah dan konsisten dalam beribadah. Begitu pentingnya Istiqomah ini sampai Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa
sam berpesan kepada seseorang seperti dalam hadits berikut:
عن أبي سفيان بن عبد الله رضي الله علنه قال: قلت يا رسول الله، قل لي فى الإسلام قولا لا أسأله عنه أحدا غيرك، قال: قل آمنت بالله ثم استقم (رواهمسلم)
Dari Abu Sufyan bin Abdillah Radhiallahu ‘anhu berkata: Aku telah berkata, “wahai rasulullah katakanlah kepadaku pesan dalam Islam sehingga aku tidak perlu berkata pada orang lain selain engkau. Nabi menjawab,”katakanlah aku telah beriman kepada Allah kemudian beristiqomahlah”.

Orang yang istiqomah selalu kokoh dalam aqidah dan tidak goyang keimanan bersama dalam tantangan hidup. Sekalipun dihadapkan pada tantangan hidup, ibadah tidak ikut redup, kantong kering atau tebal, tetap memperhatikan haram halam, dicaci dipuji, sujud pantang berhenti, sekalipun ia memiliki fasilitas, ia tidak tergoda melakukan kemaksiatan.

Orang seperti itulah yang dipuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-qura’an surat fusilat ayat 30

. إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمْ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengataka:”tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhakan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengetakan):”janganlah kamu merasa takut, dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah dengan syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.

2. Istikharah, selalu mohon petunjuk kepada Allah dalam setiap langkah dan penuh pertimbangan dalam setiap keputusan.

Setiap orang mempunyai kebebasan untuk berbicara dan melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi menurut Islam, tidak ada kebebasan yang tanpa batas, dan batas-batas tersebut adalah aturan-aturan agama. Maka seorang muslim yang benar, selalu berfikir berkali-kali sebelum melakukan tindakan atau mengucapakan sebuah ucapan serta ia selalu mohon petunjuk  kepada Allah.

Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda:
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت.(رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة

Barang siapa yang beriman kepad Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diamlah.(HR Al-bukhari dan muslim dari Abu Hurairah)

Orang bijak berkata “Think today and speak tomorrow” (berfikirlah hari ini dan berbicaralah besok).
Kalau ucapan itu tidak baik apalagi sampai menyakitkan orang lain maka tahanlah, jangan diucapakn, sekalipun menahan ucapan tersebut terasa sakit. Tapi apabila ucapan itu benar dan baik maka katakanlah jangan ditahan sebab lidah kita menjadi lemas untuk bisa meneriakkan kebenaran dan keadilan serta menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.

Mengenai kebebasan ini, malaikat jibril pernah datang kepada Nabi muhammad Shallahu ‘alai wa salam untuk memberikan rambu kehidupan, beliau bersabda:

أتاني جبريل فقال: يا محمد عش ما شئت فإنك ميت، وأحبب ما شئت فإنك مفارق، واعمل ما شئت فإنك مجزي به. (رواه البيهقي عن جابر
Jibril telah datang kepadaku dan berkata: Hai Muhammad hiduplah sesukamu, tapi sesungguhnya engkau suatu saat pasti akan mati, cintailah apa yang engkau sukai tapi engkau suatua saat pasti berpdisah juga dan lakukanlah yang engkau inginkan sesungguhny semua itu ada balasannya.(HR. Baihaqi dan Jabir)

Sabda Nabi Shallahu alihi wasalam ini semakin penting untuk diresapi ketika akhir akhir ini dengan dalih kebebasan, banyak orang berbicara tanpa logika dan data yang benar dan bertindak sekehaendaknya tanpa mengindahkan etika agama. Para pakar barang kali untuk saat saat ini, lebih bijaksana untuk banyak mendengar daripada  berbicara yang kadang kadang justru membingungkan masyarakat.

Kita memasyarakatkan istikharah dalam segala langkah kita, agar kita benar benar bertindak secara benar dan tidak menimbulkan kekecewaan di kemudian hari.

Nabi Muhammad Shallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
ما خاب من استخار ولا ندم من استشار ولا عال من اقتصد.

Tidak rugi orang yang beristikharah, tidak akan kecewa orang yang bermusyawarah dan tidak akan miskin orang yang hidupnya hemat. (HR. Thabrani dari Anas)

2.        Istighfar, yaitu selalu introspeksi diri dan mohon ampunan kepada Allah.
Setiap orang pernah melakukan kesalahan baik sebagai individu maupun kesalahan sebagai sebuah bangsa. Setiap kesalahan dan dosa itu sebenarnya penyakit yang merusak kehidupan kita. Oleh karena itu ia harus diobati.

Tidak sedikit persoalan besar yang kita hadapi akhir akhir ini yang diakibatkan kesalahan kita sendiri. Saatnya kita instrospeksi masa lalu, memohon ampun kepada Allah, melakukan koreksi untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah dengan penuh keridloaan Allah.
Dalam persoalan ekonomi, jika rizki Allah tidak sampai kepada kita disebabkan karena kesalahan kita, maka yang diobati adalah sifat malas itu. Kita tidak boleh menjadi umat pemalas. Malas adalah bagian dari musuh kita. Jika kesulitan ekonomi tersebut, karena kita kurang bisa melakukan terobosan-terobosan yang produktif maka kreatifitas dan etos kerja umat yang harus kita tumbuhkan.

Allah berfirman yang mengisahkan seruan Nabi hud Alaihissalam, kepada kaumnya:
وَيَاقَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلْ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ

“dan (Hud) berkata, hai kaumku, mohonlah ampun kepada tuhanmu lalu bertaubatlah kepadakNya, niscaya di menurunkan hujan yang sangat deras atasmu dan dia akan menambahkan kekuatan dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa” (QS. 52)

Sekali lagi, tiada kehidupan yang sepi dari tantangan dan godaan. Agar kita tetap tegar dan selamat dalam berbagai gelombang kehidupan, tidak bisa tidak kita harus memiliki dan melakukan  tiga amalan di atas yaitu Istiqomah, Istikharah, Isrighfar.

Mudah mudahan Allah memberi kekuatan kepada kita untuk menatap masa depan
dengan keimanan dan rahmat-Nya yang melimpah. Amin

Sunday 28 April 2013

Menuju Kemandirian Spiritual Dengan Istiqomah



“Yaa Muqollibal quluub, tsabbit qolbii ‘ala diinika” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

Dalam kehidupan kita, seringkali kita menghadapi banyak persoalan, dan permasalahan, mulai dari hal yang kecil hingga hal yang paling besar. Persoalan pribadi, keluarga, pekerjaan hingga persoalan dalam kehidupan social yang kita jalani. Permasalahan dan persoalan ini kemudian membawa kepada ketidak stabilan diri dan tidak mampu mengendalikannya dengan baik. Bahkan dampaknya bisa menyentuh persoalan kehidupan beragama. 

Kerap kali persoalan yang kita hadapi adalah persoalan duniawi tetapi berakibat buruk bagi kehidupan beragama, ibadah menjadi korban, kesalehan diri menurun drastic, bahkan keimanan yang terkikis. Maka muncullah kegalauan iman dan kegelisahan spiritual Kondisi-kondisi seperti ini sesungguhnya juga terjadi pada diri sahabat yang saat itu mereka masih bersama Nabi saw. sebab itulah, apabila mereka menghadapi menghadapi keadaan seperti itu, ketiga mereka diperhadapkan dengan was-was, keraguan, kegelisahan spiritual, mereka kemudian datang kepada Nabi meminta tetapi solusinya. Disebutkan dalam hadis, seorang sahabat Abu Amrah datang kepada Nabi saw, bertanya ya Rasulullah sampaikan kepadaku satu perkataan dalam Islam yang kemudian aku tidak akan bertanya lagi selain kepadamu, lalu nabi saw berkata; " katakanlah! Aku beriman kepada Allah kemudian beristiqamalah".

Memang para sahabat berlomba untuk memperbaiki diri dan berlomba untuk mencapai yang terbaik dalam menjalankan ajaran Islam, mereka memegang prinsip kualitas diri dunia da di akhirat. Seperti sahabat al-Nu'man yang mungkin jadi masih ragu akan cara beragama mereka datang kepada Nabi bertanya; Ya Rasulallah bagaimana pendapat Rasulullah, jika aku sudah melaksanakan shalat wajib, berpuasa di bulan ramadhan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram apakah aku sudah bisa masuk surga? Nabi berkata "iya".

Suatu ketika Abu Hurairah datang kepada Nabi dan berkata ya Rasulallah, ajarkan kepadaku suatu amalan jika aku kerjakan, dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka, nabi berkata, "sebarkan salam, beri makan orang yang butuh, sambung tali silaturrahim dan bangunlah shalat pada saat orang sedang tidur maka kamu masuk syurga dengan selamat."Sekelompok sahabat dari kalangan fakir miskin datang kepada Nabi menyampaikan curhatnya " ya Rasulullah, saudara-saudara kami orang-orang kaya,di saat kami shalat mereka juga shalat, dikala kami puasa mereka juga puasa, tetapi mereka bersedekah dengan kelebihan hartanya... "

Apa yang tergambar dalam hadis-hadis di atas bahwa para sahabat Nabi jika mengalami kegelisahan-kegelisahan dan kegalauan spiritual maka ia akan datang kepada Nabi bertanya menjadi pelajaran bagi kita juga bahwa hendaknyalah, persoalan-persoalan yang kita hadapi diselesaikan dengan kembali kepada Rasulullah yakni dengan kembali kepada sunnah-sunnahnya. Salah satu wasiat Nabi ketika menghadapi persoalan dan permasalahan hidup terutama jika berkaitan dengan persoalan keimanan adalah membangun kemandirian iman (istiqamah). Kemandirian iman (istiqamah) adalah keyakinan kita kepada Allah, sebagai pemberi solusi dari segala persoalan yang kita hadapi, lalu kemudian mampu bertahan di atas keyakinan itu, dalam kondisi dan situasi apa pun. 

Ketika menghadapi masalah, maka Allahlah tempat bergantung, kepada Allah menyandarkan segala urusan, kepada Allah berserah diri, kepada Allah bertawakkal, bahkan hidup dan mati kita semuanya ada di tangan Allah. Kemandirian iman akan memberikan kekuatan spiritual sehingga tidak pernah merasah takut menghadapi persoalan sesulit apa pun yang dihadapi karena hanya kepada Allah bergantung dan meminta, serta tidak akan pernah dilandah kesedihan karena senantiasa khusyu berhubungan dengan Allah. Kemandirian iman akan memberikan semangat hidup untuk mencapai yang terbaik dan memberi kebaikan kepada siapa pun, menyemaikan rahmat dan kasih sayang. Dengan kemandirian iman kita bisa bertahan hidup di atas kebenaran dalam kondisi dan situasi apa pun yang dihadapi.

Akan tetapi bagaimana pun juga seorang hamba tidak mungkin untuk senantiasa terus dan sempurna dalam istiqomahnya. Terkadang seorang hamba luput dan lalai yang menyebabkan nilai istiqomah seorang hamba menjadi berkurang. Oleh karena itu, Allah memberikan jalan keluar untuk memperbaiki kekurangan tersebut yaitu dengan beristigfar dan memohon ampun kepada Allah ta’ala dari dosa dan kesalahan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, Maka beristiqomahlah (tetaplah) pada jalan yang lurus menuju kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-Nya”. (QS. Fushshilat [41]: 6). Di dalam al-Qur’an maupun sunnah telah ditegaskan cara-cara yang dapat ditempuh oleh seorang hamba untuk bisa meraih istiqomah. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat” (QS. Ibrahim [14] : 27). Makna “ucapan yang teguh” adalah dua kalimat syahadat. Sehingga, Allah akan meneguhkan orang yang beriman yang memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat ini di dunia dan di akhirat.

Kedua, membaca al-Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya. Allah berfirman yang artinya, “Katakanlah: ‘Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al-Quran itu dari Robb-mu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. An Nahl [16]:102)Ketiga, berkumpul dan bergaul di lingkungan orang-orang saleh. Hal ini sangat membantu seseorang untuk senantiasa istiqomah di jalan Allah ta’ala. Teman-teman yang saleh akan senantiasa mengingatkan kita untuk berbuat baik serta mengingatkan kita dari kekeliruan. Bahkan dalam al-Qur’an disebutkan bahwa hal yang sangat membantu meneguhkan keimanan para sahabat adalah keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman yang artinya, “Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rosul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian? Dan barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran [3]:101)

Keempat, berdoa kepada Allah ta’ala agar Dia senantiasa memberikan kepada kita istiqomah hingga akhir hayat. Bahkan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah doa, “Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik ” artinya “Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Hakim, dishahihkan oleh Adz Dzahabi, lihat pula Shahihul Jami’)

Kelima, membaca kisah Rasulullah, para sahabat dan para ulama terdahulu untuk mengambil teladan dari mereka. Dengan membaca kisah-kisah mereka, bagaimana perjuangan mereka dalam menegakkan diinul Islam, maka kita dapat mengambil pelajaran dari kisah tersebut sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Huud [11]: 120)Kaum muslimin rahimakumullah demikianlah sedikit yang dapat kami sampaikan sebagai renungan bagi kita semua untuk meniti jalan istiqomah. Semoga Allah ta’ala memberikan keteguhan kepada kita untuk senantiasa menjalankan syariat-Nya hingga kelak kematian menjemput kita semua. Amiin ya Mujibbassaailiin.


Friday 26 April 2013

Dialog Allah dengan Empat Golongan Manusia


Ilustrasi
“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.” (QS Ibrahim: 31).

Sejatinya, hidup adalah menanti. Menanti giliran kapan kita kembali kehadirat Illahi Rabbi. Penantian panjang menuju hari akhir memerlukan perbekalan dengan sungguh-sungguh, tidak sekedar main-main.

Sebab, siapa yang menjadikan hidup ini sebagai senda gurau dan permainan, tanpa perbekalan berarti—maka Allah pun akan melupakannya di hari yang sangat berat bagi seluruh makhluk.



“Yaitu orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, kehidupan dunia telah menipu mereka. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS Al-A’raf: 51).

Di hari kiamat nanti, kita akan bertemu dengan-Nya dalam keadaan yang berbeda-beda, sesuai dengan amal ibadah kita. Ada yang wajahnya putih bersinar, ada pula yang wajahnya hitam legam. 

Selain itu, Allah juga akan berhujjah kepada beberapa golongan manusia. Seperti sabda Rasulullah Saw, “Pada hari kiamat nanti, Allah SWT akan berhujjah dengan empat orang terhadap empat golongan manusia yang lain, yaitu: Pertama, Allah berhujjah kepada orang-orang kaya dengan Sulaiman bin Daud. Kedua, Allah berhujjah kepada para hamba sahaya dengan Nabi Yusuf AS. Ketiga, Allah berhujjah kepada orang-orang sakit dengan Nabi Ayyub AS. Keempat, Allah berhujjah kepada orang-orang fakir dengan Nabi Isa AS.”

Maksud hadits di atas, menurut Syekh Nawawi dalam “Nashaih Ibad”, bahwa Allah SWT akan bertanya kepada orang-orang kaya yang terlena dengan kekayaannya dan enggan beribadah, “Mengapa kalian tidak beribadah?” 

Mereka menjawab, “Karena kami sibuk mengurus harta benda kami,” maka Allah berfirman, “Siapakah yang lebih besar kerajaannya dan siapakah yang lebih banyak kekayaannya daripada Sulaiman AS? Tapi mengapa ia tetap tekun beribadah?”

Kepada para hamba sahaya, Allah akan bertanya, “Mengapa kalian tidak beribadah?” Jika mereka menjawab, “Karena kami sibuk melayani majikan-majikan kami,” maka Allah pun berfirman, “Hambaku, Yusuf , adalah seorang budak di bawah perintah raja Mesir dan istrinya, tapi mengapa ia tetap tekun beribadah?”

Kepada mereka yang diuji dengan sakit, Allah akan bertanya, “Mengapa kalian tidak beribadah?” Jika mereka menjawab, “Karena kami tertimpa sakit,” maka Allah berfirman, “Hambaku, Ayyub, adalah orang yang menderita sakit parah, tapi mengapa ia tetap tekun beribadah?”

Kepada mereka yang diuji dengan kefakiran, Allah akan bertanya, “Mengapa kalian tidak beribadah?” Jika mereka menjawab, “Karena kami sibuk mencari sesuap nasi,” maka Allah berfirman, “Hambaku, Isa, adalah orang yang terfakir di dunia, dia tidak memiliki kekayaan dunia sedikit pun. Dia tidak memiliki rumah, harta, maupun istri. Tapi mengapa ia tetap tekun beribadah?”

Demikianlah, Allah memberikan perumpamaan dari empat golongan manusia di atas, dengan kesalehan para Nabiyullah. Mereka yang tetap konsisten menjaga kualitas ibadah dalam kondisi apa pun, maka baginya kenikmatan yang tiada putusnya.

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah: 25).

Wednesday 24 April 2013

Belajar Ikhlas


 بسم الله الرحمن الرحيم
    الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد،

 




Ikhlas itu kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan. Karena itu, kita perlu belajar dan membiasakan diri menjadi mukhlis (orang yang ikhlas).

Dari segi bahasa, ikhlas itu mengandung makna memurnikan dari kotoran, membebaskan diri dari segala yang merusak niat dan tujuan kita dalam melakukan suatu amalan.

Ikhlas juga mengandung arti meniadakan segala penyakit hati, seperti syirik, riya, munafik, dan takabur dalam ibadah. Ibadah yang ikhlas adalah ibadah yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT.

Ungkapan “semata-mata karena Allah SWT” setidaknya mengandung tiga dimensi penghambaan, yaitu niatnya benar karena Allah (shalih al-niyyat), sesuai tata caranya (shalih al-kaifiyyat), dan tujuannya untuk mencari rida Allah SWT (shalih al-ghayat), bukan karena mengharap pujian, sanjungan, apresiasi, dan balasan dari selain Allah SWT.

Beribadah secara ikhlas merupakan dambaan setiap Mukmin yang saleh karena ikhlas mengantarkannya untuk benar-benar hanya menyembah atau beribadah kepada Allah SWT, tidak menyekutukan atau menuhankan selain- Nya. “Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun” (QS An-Nisa’ [4]: 36).

Jika ikhlas sudah menjadi karakter hati dalam beramal ibadah, niscaya keberagamaan kita menjadi lurus, benar, dan istiqamah (konsisten). (QS Al-Bayyinah [98]: 5). Selain kunci diterima tidaknya amal ibadah kita oleh Allah SWT, ikhlas juga membuat “kinerja” kita bermakna dan tidak sia-sia. Kinerja yang bermakna adalah kinerja yang berangkat dari hati yang ikhlas.

Menurut Imam Al-Ghazali, peringkat ikhlas itu ada tiga. Pertama, ikhlas awam yakni ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena dilandasi perasaan takut kepada siksa-Nya dan masih mengharapkan pahala dari-Nya.

Kedua, ikhlash khawas,ialah ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena dimotivasi oleh harapan agar menjadi hamba yang lebih dekat dengan-Nya dan dengan kedekatannya kelak ia mendapatkan “sesuatu” dari-Nya.

Ketiga, ikhlash khawas al-khawas adalah ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena atas kesadaran yang tulus dan keinsyafan yang mendalam bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik Allah dan hanya Dia-lah Tuhan yang Mahasegala-galanya.

Ikhlas merupakan komitmen ter ting gi yang seharusnya ditambatkan oleh setiap Mukmin dalam hatinya: sebuah komitmen tulus ikhlas yang sering dinyatakan dalam doa iftitah. (Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku semata-mata karena Allah Tuhan semesta alam). (QS Al-An’am [6]: 162).

Sifat dan perbuatan hati yang ikhlas itu merupakan perisai moral yang dapat menjauhkan diri dari godaan setan (Iblis). Menurut At-Thabari, hamba yang mukhlis adalah orang-orang Mukmin yang benar-benar tulus sepenuh hati dalam beribadah kepada Allah, sehingga hati yang murni dan benar-benar tulus itu menjadi tidak mempan dibujuk rayu dan diprovokasi setan.

Ikhlas sejatinya juga merupakan “benteng pertahanan” mental spiritual Mukmin dari kebinasaan atau kesia-siaan dalam menjalani kehidupan. Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah berujar, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang meng isi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tetapi tidak bermanfaat.”

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”

Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”

Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”

Makna Ikhlas

Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.

Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.

Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.

Buruknya Riya

Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?’” (HR Ahmad).
Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)

Ciri Orang Yang Ikhlas

Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:
1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”
Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.
Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”

2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.

3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.

Monday 22 April 2013

Keutamaan Waktu Pagi


1.Waktu Pagi adalah Waktu yang Penuh Berkah
Waktu yang berkah adalah waktu yang penuh kebaikan. Waktu pagi telah dido’akan khusus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai waktu yang berkah.
Dari sahabat Shokhr Al Ghomidiy, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا

“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.”
Apabila Nabi shallallahu mengirim peleton pasukan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimnya pada pagi hari. Sahabat Shokhr sendiri (yang meriwayatkan hadits ini, pen) adalah seorang pedagang. Dia biasa membawa barang dagangannya ketika pagi hari. Karena hal itu dia menjadi kaya dan banyak harta. Abu Daud mengatakan bahwa dia adalah Shokhr bin Wada’ah. (HR. Abu Daud no. 2606. Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)

Ibnu Baththol mengatakan, “Hadits ini tidak menunjukkan bahwa selain waktu pagi adalah waktu yang tidak diberkahi. Sesuatu yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada waktu tertentu) adalah waktu yang berkah dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik uswah (suri teladan) bagi umatnya. Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan waktu pagi dengan mendo’akan keberkahan pada waktu tersebut daripada waktu-waktu yang lainnya karena pada waktu pagi tersebut adalah waktu yang biasa digunakan manusia untuk memulai amal (aktivitas). Waktu tersebut adalah waktu bersemangat (fit) untuk beraktivitas. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan do’a pada waktu tersebut agar seluruh umatnya mendapatkan berkah di dalamnya.” (Syarhul Bukhari Libni Baththol, 9/163, Maktabah Syamilah)

2. Waktu Pagi adalah Waktu Semangat Untuk Beramal
Dalam Shohih Bukhari terdapat suatu riwayat dari sahabat Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh). Jika tidak mampu berbuat yang sempurna (ideal) maka lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah ada pahala di balik amal yang selalu kontinu. Lakukanlah ibadah (secara kontinu) di waktu pagi dan waktu setelah matahari tergelincir serta beberapa waktu di akhir malam.” (HR. Bukhari no. 39. Lihat penjelasan hadits ini di Fathul Bari)
Yang dimaksud ‘al ghodwah’ dalam hadits ini adalah perjalanan di awal siang. Al Jauhari mengatakan bahwa yang dimaksud ‘al ghodwah’ adalah waktu antara shalat fajar hingga terbitnya matahari. (Lihat Fathul Bari 1/62, Maktabah Syamilah)
Inilah tiga waktu yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari sebagai waktu semangat (fit) untuk beramal.
Syaikh Abdurrahmanbin bin Nashir As Sa’di mengatakan bahwa inilah tiga waktu utama untuk melakukan safar (perjalanan) yaitu perjalanan fisik baik jauh ataupun dekat. Juga untuk melakukan perjalanan ukhrowi (untuk melakukan amalan akhirat). (Lihat Bahjah Qulubil Abror, hal. 67, Maktbah ‘Abdul Mushowir Muhammad Abdullah)


BAGAIMANA KEBIASAAN ORANG SHOLIH DI PAGI HARI?

[1] Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

An Nawawi dalam Shohih Muslim membawakan bab dengan judul ‘Keutamaan tidak beranjak dari tempat shalat setelah shalat shubuh dan keutamaan masjid’. Dalam bab tersebut terdapat suatu riwayat dari seorang tabi’in –Simak bin Harb-. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa dia bertanya kepada Jabir bin Samuroh,
أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

“Apakah engkau sering menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk?”
Jabir menjawab,
نَعَمْ كَثِيرًا كَانَ لاَ يَقُومُ مِنْ مُصَلاَّهُ الَّذِى يُصَلِّى فِيهِ الصُّبْحَ أَوِ الْغَدَاةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِى أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ.

“Iya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya tidak beranjak dari tempat duduknya setelah shalat shubuh hingga terbit matahari. Apabila matahari terbit, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri (meninggalkan tempat shalat). Dulu para sahabat biasa berbincang-bincang (guyon) mengenai perkara jahiliyah, lalu mereka tertawa. Sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum saja.” (HR. Muslim no. 670)
An Nawawi mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat anjuran berdzikir setelah shubuh dan mengontinukan duduk di tempat shalat jika tidak memiliki udzur (halangan).
Al Qadhi mengatakan bahwa inilah sunnah yang biasa dilakukan oleh salaf dan para ulama. Mereka biasa memanfaatkan waktu tersebut untuk berdzikir dan berdo’a hingga terbit matahari.” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/29, Maktabah Syamilah)


[2] Kebiasaan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu

Dari Abu Wa’il, dia berkata, “Pada suatu pagi kami mendatangi Abdullah bin Mas’ud selepas kami melaksanakan shalat shubuh. Kemudian kami mengucapkan salam di depan pintu. Lalu kami diizinkan untuk masuk. Akan tetapi kami berhenti sejenak di depan pintu. Lalu keluarlah budaknya sembari berkata, “Mari silakan masuk.” Kemudian kami masuk sedangkan Ibnu Mas’ud sedang duduk sambil berdzikir.
Ibnu Mas’ud lantas berkata, “Apa yang menghalangi kalian padahal aku telah mengizinkan kalian untuk masuk?”
Lalu kami menjawab, “Tidak, kami mengira bahwa sebagian anggota keluargamu sedang tidur.”
Ibnu Mas’ud lantas bekata, “Apakah kalian mengira bahwa keluargaku telah lalai?”
Kemudian Ibnu Mas’ud kembali berdzikir hingga dia mengira bahwa matahari telah terbit. Lantas beliau memanggil budaknya, “Wahai budakku, lihatlah apakah matahari telah terbit.” Si budak tadi kemudian melihat ke luar. Jika matahari belum terbit, beliau kembali melanjutkan dzikirnya. Hingga beliau mengira lagi bahwa matahari telah terbit, beliau kembali memanggil budaknya sembari berkata, “Lihatlah apakah matahari telah terbit.” Kemudian budak tadi melihat ke luar. Jika matahari telah terbit, beliau mengatakan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَقَالَنَا يَوْمَنَا هَذَا

“Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami berdzikir pada pagi hari ini.” (HR. Muslim no. 822)


[3] Keadaan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di Pagi Hari

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah orang yang gemar beribadah dan bukanlah orang yang kelihatan bengis sebagaimana anggapan sebagian orang. Kita dapat melihat aktivitas beliau di pagi hari sebagaimana dikisahkan oleh muridnya –Ibnu Qayyim Al Jauziyah.-
Ketika menjelaskan faedah dzikir bahwa dzikir dapat menguatkan hati dan ruh, Ibnul Qayim mengatakan, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah suatu saat shalat shubuh. Kemudian (setelah shalat shubuh) beliau duduk sambil berdzikir kepada Allah Ta’ala hingga pertengahan siang. Kemudian berpaling padaku dan berkata, ‘Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak berdzikir seperti ini, hilanglah kekuatanku’ –atau perkataan beliau yang semisal ini-.” (Al Wabilush Shoyib min Kalamith Thoyib, hal.63, Maktabah Syamilah)

Sunday 21 April 2013

Menggapai Ketenteraman Jiwa


Foto: Menggapai Ketenteraman Jiwa

Berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia semakin bertambah .Seiring meningkatnya persoalan ini akan berdampak pula pada kondisi kejiwaan setiap orang. Tidak sedikit orang mengadapi beragam terpaan persoalan tuntutan hidup, yang bermuara pada pesimis dalam menghadapi samudra kehidupan. Terpaan musibah yang bertubi-tubi, dari beraneka ragam bencana alam,masalah ekonomi,kesehatan, hingga penegakan keadilan kesemuanya itu melahirkan dampak kepada setiap orang, yang pada akhirnya menyulap kehidupan manusia rumit bagai benang terlilit munculah gangguan kejiwaan, yang mengganggu kenyamanan hidup terlebih ketentraman jiwa. 

Ketentraman jiwa akan sangat berpengaruh besar terhadap kondisi fisik dan irama hidup setiap orang,Jika hanya fisik yang terganggu tentullah anggota fisik yang lain masih bisa difungsikan dengan baik, akan tetapi ketika jiwa terganggu semua fungsi fisik ikut terganggu bahkan tidak berfungsi dengan maksimal.

Namun demikian hal itu tidaklah perlu kita cemaskan karena ajaran Islam begitu luhur ajarannya yang menuntun kita umatnya untuk menjaga dan mencapai ketentraman jiwa, daIam pandangan Islam jiwa sering dikaitkan dengan hati atau qalbu, Qalbu adalah suatu lintasan perasaan pada diri manusia atau anggota tubuh yang abstrak dan hanya bisa dirasakan.Segumpal daging yang terletak di dalam dada manusia,sebagai tempat bertarungnya pengaruh kebaikan dan kejahatan, organ ini memiliki peranan yang sangat penting. 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Bersabda :

"Ketahuilah bahwa dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik maka seluruh jasad menjadi baik, tetapi jika ia rusak maka seluruh jasad akan menjadi rusak, ketahuilah segumpal daging itu adalah hati”. (HR. Bukhari Muslim)

Jadi jelaslah bahwa salah satu potensi yang paling berharga yang kita miliki yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala,untuk bekal hidup sebagai seorang manusia dimuka bumi ini adalah Hati (qalbu).Segumpal daging yang dinamakan hati inilah yang membuat kita mulia atau tidak,bahagia atau sengasara.demikian juga kecemasan dan ketentraman jiwa. 

Oleh karena itu menjaga hati,dan mensucikan hati (tazkiyatun nafs) adalah merupakan ibadah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Hati yang selalu bersih membuat hidup kita lebih bahagia tidak pernah kecewa dengan ujian,fitnah,atau iri dengki kepada orang lain,dan selalu memandang jernih setiap masalah,sehingga pasti akan tenang penuh ketentraman jiwa dalam menjalani hidup. 

Sebaliknya jika orang yang tidak menjaga hati akan bermuara pada hati terkotori dan pada akhirnya selalu tidak tenang,karena hatinya dipenuhi prasangka,rasa dengki,sombong.Orang seperti ini terlihat jelas dari akhlaqnya yang semakin terpuruk,sungguh sia-sia waktunya karena hanya sibuk memikirkan kekurangan orang lain semata.

Allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman :

“Sesungguhnya berbahagialah orang-orang yang mensucikan jiwanya dan sungguh celakalah orang-orang yang mengotori jiwanya.” (QS. Asy Syams : 9-10).

Islam menyatakan bahwa kebahagiaan, sejahteraan dan ketentraman itu bukan merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan. Kebahagiaan dan ketentraman jiwa adalah dimana kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Imam Abu Hamid Al Ghazali menyatakan “bahwa puncak kebahagiaan dan ketentraman pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ma'rifatullah, telah mengenal Allah Subhanahu wa Ta;ala. 

Kebahagiaan dan ketentaraman itu akan datang dengan sendirinya jika hati telah dipenuhi iman yang kuat,dan bertindak sesuai dengan keyakinan yang kita punya itu,Jika kita kehendaki ketentraman jiwa tentunya ikhtiar maksimal, secara terus menerus menyebut dan mengangungkan Asma-asma-Nya yang agung, dengan senantiasa berdzikir, karena dengan demikian seorang hamba akan tentram karena senantiasa bertaqarub dengan Rabb-Nya, dan secara tidak langsung juga memberikan konsekuensi positif dan dampak ketentraman terhadap lingkungan sekitarnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman :

“Karena itu, ingatlah kalian kepada-KU,niscaya AKU (ALLAH) akan ingat pula kepada kalian.Dan bersyukurlah kepada-KU,serta janganlah kalian mengingkari nikmat-KU”(Q.S. Al Baqarah : 152). 

Adapun kelezatan hati dan manisnya iman ialah ma'rifat kepada Allah Subhanahu wa Ta;ala, karena hati dijadikan tidak lain untuk mengingat-Nya Maka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ‘adalah solusi menggapai ketentraman jiwa dan merupakan puncak dari segala macam kegembiraan. Lebih dari apa yang dapat dibayangkan oleh manusia, sebab tidak ada yang lebih tinggi dari kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Islam adalah agama yang selamat,pembawa keselamatan, dan mengajak manusia pada keselamatan, memberikan solusi yang sangat tepat untuk menggapai ketentraman jiwa dan menanggulangi segala macam bentuk persoalan kehidupan keresahan dan penyakit-penyakit hati, disamping menjaga kebersihan qalbu dan setia menempuh jalan yang lurus dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketentramana jiwa akan dicapai sepenuhnya pada seorang hamba,manakala yang bersangkutan berkenan : Tidak pernah meninggalkan membaca Al quran, Setiap saat beerdzkir dan berdoa, Bersabar atas keputusan-Nya melalui qadha dan qadar,Tidak berputus asa atau menyerah, Memohon pertolongan kepada-Nya dalam semua urusan,Menyadari bahwa apa yang menimpanya adalah bagian dari taqdir-Nya, dan apa yang bukan taqdir-Nya tidak akan menimpa padanya,serta yakin bahwa dirinya tidak kuasa memberi manfaat maupun bahaya. Dengan istiqamah mengerjakan amal-amal tersebut diatas InsyahAllah seorang hamba akan merasa tentram hidup mulia penuh rahmat dalam lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Sahabat-sahabat yang di Rahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, Mudah- mudahan manfaat buat kita semua, yang Benar Haq semua datang-Nya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala,yang kurang dan khilaf mohon sangat dimaafkan ’’Akhirul qalam “Wa tawasau bi al-haq Watawa saubil shabr “.Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala ‘Senantiasa menunjukkan kita pada sesuatu yang di Ridhai dan di Cintai-Nya..Aamiin Allahuma Aamiin.

Berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia semakin bertambah .Seiring meningkatnya persoalan ini akan berdampak pula pada kondisi kejiwaan setiap orang. Tidak sedikit orang mengadapi beragam terpaan persoalan tuntutan hidup, yang bermuara pada pesimis dalam menghadapi samudra kehidupan. Terpaan musibah yang bertubi-tubi, dari beraneka ragam bencana alam,masalah ekonomi,kesehatan, hingga penegakan keadilan kesemuanya itu melahirkan dampak kepada setiap orang, yang pada akhirnya menyulap kehidupan manusia rumit bagai benang terlilit munculah gangguan kejiwaan, yang mengganggu kenyamanan hidup terlebih ketentraman jiwa.

Ketentraman jiwa akan sangat berpengaruh besar terhadap kondisi fisik dan irama hidup setiap orang,Jika hanya fisik yang terganggu tentullah anggota fisik yang lain masih bisa difungsikan dengan baik, akan tetapi ketika jiwa terganggu semua fungsi fisik ikut terganggu bahkan tidak berfungsi dengan maksimal.

Namun demikian hal itu tidaklah perlu kita cemaskan karena ajaran Islam begitu luhur ajarannya yang menuntun kita umatnya untuk menjaga dan mencapai ketentraman jiwa, daIam pandangan Islam jiwa sering dikaitkan dengan hati atau qalbu, Qalbu adalah suatu lintasan perasaan pada diri manusia atau anggota tubuh yang abstrak dan hanya bisa dirasakan.Segumpal daging yang terletak di dalam dada manusia,sebagai tempat bertarungnya pengaruh kebaikan dan kejahatan, organ ini memiliki peranan yang sangat penting.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Bersabda :

"Ketahuilah bahwa dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik maka seluruh jasad menjadi baik, tetapi jika ia rusak maka seluruh jasad akan menjadi rusak, ketahuilah segumpal daging itu adalah hati”. (HR. Bukhari Muslim)

Jadi jelaslah bahwa salah satu potensi yang paling berharga yang kita miliki yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala,untuk bekal hidup sebagai seorang manusia dimuka bumi ini adalah Hati (qalbu).Segumpal daging yang dinamakan hati inilah yang membuat kita mulia atau tidak,bahagia atau sengasara.demikian juga kecemasan dan ketentraman jiwa.

Oleh karena itu menjaga hati,dan mensucikan hati (tazkiyatun nafs) adalah merupakan ibadah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Hati yang selalu bersih membuat hidup kita lebih bahagia tidak pernah kecewa dengan ujian,fitnah,atau iri dengki kepada orang lain,dan selalu memandang jernih setiap masalah,sehingga pasti akan tenang penuh ketentraman jiwa dalam menjalani hidup.

Sebaliknya jika orang yang tidak menjaga hati akan bermuara pada hati terkotori dan pada akhirnya selalu tidak tenang,karena hatinya dipenuhi prasangka,rasa dengki,sombong.Orang seperti ini terlihat jelas dari akhlaqnya yang semakin terpuruk,sungguh sia-sia waktunya karena hanya sibuk memikirkan kekurangan orang lain semata.

Allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman :

“Sesungguhnya berbahagialah orang-orang yang mensucikan jiwanya dan sungguh celakalah orang-orang yang mengotori jiwanya.” (QS. Asy Syams : 9-10).

Islam menyatakan bahwa kebahagiaan, sejahteraan dan ketentraman itu bukan merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan. Kebahagiaan dan ketentraman jiwa adalah dimana kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Imam Abu Hamid Al Ghazali menyatakan “bahwa puncak kebahagiaan dan ketentraman pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ma'rifatullah, telah mengenal Allah Subhanahu wa Ta;ala.

Kebahagiaan dan ketentaraman itu akan datang dengan sendirinya jika hati telah dipenuhi iman yang kuat,dan bertindak sesuai dengan keyakinan yang kita punya itu,Jika kita kehendaki ketentraman jiwa tentunya ikhtiar maksimal, secara terus menerus menyebut dan mengangungkan Asma-asma-Nya yang agung, dengan senantiasa berdzikir, karena dengan demikian seorang hamba akan tentram karena senantiasa bertaqarub dengan Rabb-Nya, dan secara tidak langsung juga memberikan konsekuensi positif dan dampak ketentraman terhadap lingkungan sekitarnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman :

“Karena itu, ingatlah kalian kepada-KU,niscaya AKU (ALLAH) akan ingat pula kepada kalian.Dan bersyukurlah kepada-KU,serta janganlah kalian mengingkari nikmat-KU”(Q.S. Al Baqarah : 152).

Adapun kelezatan hati dan manisnya iman ialah ma'rifat kepada Allah Subhanahu wa Ta;ala, karena hati dijadikan tidak lain untuk mengingat-Nya Maka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ‘adalah solusi menggapai ketentraman jiwa dan merupakan puncak dari segala macam kegembiraan. Lebih dari apa yang dapat dibayangkan oleh manusia, sebab tidak ada yang lebih tinggi dari kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Islam adalah agama yang selamat,pembawa keselamatan, dan mengajak manusia pada keselamatan, memberikan solusi yang sangat tepat untuk menggapai ketentraman jiwa dan menanggulangi segala macam bentuk persoalan kehidupan keresahan dan penyakit-penyakit hati, disamping menjaga kebersihan qalbu dan setia menempuh jalan yang lurus dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketentramana jiwa akan dicapai sepenuhnya pada seorang hamba,manakala yang bersangkutan berkenan : Tidak pernah meninggalkan membaca Al quran, Setiap saat beerdzkir dan berdoa, Bersabar atas keputusan-Nya melalui qadha dan qadar,Tidak berputus asa atau menyerah, Memohon pertolongan kepada-Nya dalam semua urusan,Menyadari bahwa apa yang menimpanya adalah bagian dari taqdir-Nya, dan apa yang bukan taqdir-Nya tidak akan menimpa padanya,serta yakin bahwa dirinya tidak kuasa memberi manfaat maupun bahaya. Dengan istiqamah mengerjakan amal-amal tersebut diatas InsyahAllah seorang hamba akan merasa tentram hidup mulia penuh rahmat dalam lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sahabat-sahabat yang di Rahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, Mudah- mudahan manfaat buat kita semua, yang Benar Haq semua datang-Nya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala,yang kurang dan khilaf mohon sangat dimaafkan ’’Akhirul qalam “Wa tawasau bi al-haq Watawa saubil shabr “.Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala ‘Senantiasa menunjukkan kita pada sesuatu yang di Ridhai dan di Cintai-Nya..Aamiin Allahuma Aamiin.

Wednesday 17 April 2013

Keutamaan Puasa Sunnah Senin Kamis


Sebagai sebuah sunah, shaum atau puasa sunnah Senin Kamis memang kedudukan hukumnya "hanyalah" anjuran. Yang biasanya diartikan: jika dilakukan berpahala dan jika tidak dilakukan tidak berdosa. Padahal jika kita mau jujur, sesungguhnya puasa sunnah, seperti juga ibadah-ibadah sunnah lainnya, jika kita tinggalkan maka kita akan rugi. Karena berkurang sudah pahala kebaikan yang semestinya akan kita dapatkan jika kita melakukannya. Tak hanya itu, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah lebih dekatnya kita kepada Allah Swt, karena semua amalan sunnah adalah ibadah tambahan sebagai sarana untuk lebih dekat kepada Tuhan Sang Maha Pencipta, Allah 'Azza wa Jalla.
Mengapa Mesti Puasa Sunnah Senin Kamis?
Ketika Nabi kita (saw.) ditanya mengapa beliau berpuasa pada hari Senin, beliau menjawab: “Ia adalah hari kelahiranku, hari aku diutus dan hari diturunkan Alquran kepadaku” (HR. Muslim). Perlu diingat, hadis ini tidak berarti menganjurkan Anda untuk berpuasa pada hari kelahiran Anda. Jadi tidak ada dasarnya jika ada puasa sesuai hari kelahiran karena adanya dalil ini. Hadis tersebut sekadar memaparkan keutamaan hari Senin, yaitu sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad saw, hari ketika diangkatnya beliau sebagai Nabi dan Rasul, dan hari ketika Alquran diturunkan.
Pada hadis yang lain, Rasullullah saw pun bersabda: “Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi). Selain keutamaan tersebut, ternyata pada Senin dan Kamis-lah catatan amal kita dilaporkan kepada Allah. Tentunya jika Anda akan menghadapkan laporan atau tugas akhir kepada atasan atau dosen penguji, tidak mungkin dengan penampilan seadanya dengan sampul berkas yang lusuh. Apalagi catatan amal yang hendak dilaporkan. Alangkah indahnya jika catatan amal itu dibuka dan ditutup dengan dokumentasi ketika Anda sedang puasa sunnah Senin Kamis.
Itu adalah keutamaan beribadah di hari Senin dan Kamis secara religius atau nilai-nilai agama. Lantas, bagaimana keutamaan berpuasa di hari-hari tersebut berdasarkan logika manusia? Coba Anda perhatikan, hari Senin dan Kamis membagi hari-hari dalam satu minggu ke dalam dua bagian yang sama rata. Jika direnungi, ini adalah waktu yang berkala, teratur. Seperti halnya minum obat, dokter akan menyarankan kita untuk meminum obat secara teratur, misalnya setiap 6 jam sekali.
Begitu juga dengan puasa Senin Kamis. Dipilihnya Senin dan Kamis sebagai hari berpuasa sunnah adalah kebijaksanaan Allah untuk menjaga manusia tetap sehat, di samping untuk beribadah kepada-Nya dengan taat. Jika puasa Senin Kamis dilakukan teratur, berarti kita memelihara kesehatan tubuh secara teratur juga. Kita membersihkan dan mengistirahatkan saluran pencernaan selama 2 kali dalam seminggu, yakni Senin dan Kamis. Dengan demikian tentu tubuh kita lama kelamaan menjadi lebih sehat dan bugar.
Bagaimana Menjalankan Puasa Sunnah Senin Kamis?
Tidak seperti puasa Ramadhan yang wajib, puasa sunnah bisa kita lakukan tanpa niat sebelum waktu subuh. Bahkan jika Anda lupa makan pagi, lalu berniat menjadikan hari itu untuk puasa sunnah, sah-sah saja. Karena Rasulullah saw pernah datang kepada Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau bersabda: "Apakah engkau punya santapan siang? Jika tidak ada, aku akan berpuasa." (HR. Muslim). Tetapi, alangkah baiknya jika Anda tetap menyengaja makan sahur terlebih dahulu sebelum puasa, karena banyak keberkahan di dalamnya.
Apakah Puasa Sunnah Senin Kamis Membuat Badan Kita Sakit?
Tentu saja jawabannya: tidak! Jika lemas mungkin saja iya, tergantung kekuatan niat, mental, dan pikiran orang yang menjalankannya. Sepertinya Anda tidak akan merasa sakit atau lemas lagi jika mengetahui dampak puasa bagi tubuh manusia, seperti yang ditulis oleh Dr. Allan Cott M.D, seorang dokter ahli Orthomolecular psikiatri, yang banyak menghabiskan waktunya di Amerika, Kanada, dan Eropa, yang memperkenalkan metode penyembuhan dengan puasa. Dalam bukunya yang berjudul “Why Fast?” dia menulis efek dari puasa, antara lain:
  1. Merasa lebih baik secara fisik dan mental.
  2. Agar terlihat dan merasa lebih muda.
  3. Membersihkan badan.
  4. Menurunkan tekanan darah dan kadar lemak.
  5. Lebih mampu mengendalikan seks.
  6. membuat tubuh sehat dengan sendirinya.
  7. Mengendorkan/melepaskan ketegangan jiwa.
  8. Menajamkan fungsi indrawi.
  9. Memperoleh kemampuan mengendalikan diri sendiri.
  10. Memperlambat proses penuaan.
Apa Saja Keutamaan Puasa Sunnah Senin Kamis?
Setiap ibadah pasti memiliki keutamaan dan hikmah tersendiri, begitu juga dengan puasa sunnah Senin Kamis. Bagaimanapun baiknya keutamaan dan hikmah puasa Senin Kamis, semua itu tergantung pada niat kita untuk menjalankannya. Ikhlaskan niat untuk beribadah kepada Allah, maka selain akan lebih dekat dengan-Nya, Anda juga akan mampu mendapatkan keutamaan-keutamaan puasa Senin Kamis. Inilah beberapa di antaranya:
1.Menghindarkan diri dari dosa
Puasa sunnah yang satu ini merupakan ajang ‘anger management’ atau ajang melatih kesabaran dan menghindarkan diri dari hal-hal yang menimbulkan dosa. Jika dilakukan secara berkala, otomatis diri Anda akan lebih mampu menahan emosi. Dengan puasa Senin Kamis, diri Anda menjadi lebih bersih dalam hal emosi dan spiritual. Karena itu puasa sunnah ini dapat disebut sebagai zakat jiwa. Seperti disebutkan dalam hadis, “Segala sesuatu itu ada zakatnya, sedang zakat jiwa itu adalah berpuasa. Dan puasa itu separuh dari kesabaran.” (H.R. Ibnu Majah).
Dalam hadis lain, disebutkan pula keutamaan puasa sunnah ini sebagai ajang latihan ‘anger management’ dan penghindaran diri dari perbuatan dosa, yakni: “Puasa adalah benteng yang membentengi seseorang dari api neraka yang membara.” (H.R. Ahmad dan Baihaqi).
2.Meningkatkan amalan
Jika pada hari-hari biasa Anda cenderung malas beribadah dan beraktivitas karena merasa kekenyangan, puasa Senin Kamis adalah jalan keluar dari kemalasan. Puasa membuat hati kita lebih bersih sehingga produktivitas dalam meningkatkan amalan pun meningkat. Pasalnya, orang yang berpuasa cenderung ingin berbuat baik lebih banyak dari biasanya. Puasa juga melembutkan hati karena kita jadi memahami nasib dan rasa lapar mereka yang kurang beruntung. Singkatnya, puasa Senin Kamis mendekatkan kita kepada Allah.
3.Tubuh lebih sehat
Seperti disebutkan sebelumnya, puasa membantu tubuh kita untuk menjadi lebih sehat. Berpuasa secara teratur berarti membatasi makan secara berlebihan dan membatasi jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuh. Merupakan rahasia umum bahwa makan berlebihan bisa mencetuskan timbulnya penyakit. Dengan menahan lapar dan haus saat berpuasa, berarti kita menolak segala jenis penyakit yang disebabkan oleh pola makan dan asupan kalori, seperti diabetes, obesitas, dan penyakit jantung.
Puasa sunnah Senin Kamis secara teratur juga bermanfaat untuk mengistirahatkan sekaligus membersihkan sistem pencernaan. Selama puasa, lebih dari 10 jam lambung kita dibiarkan diam tidak bekerja, sehingga dapat beristirahat. Bandingkan dengan selama tidak berpuasa, kita cenderung terus mengonsumsi sesuatu dan hanya berhenti saat kita tidur. Itu berarti pencernaan kita tidak beristirahat dengan cukup. Jika saluran cerna diistirahatkan, organ-organ tubuh yang lain mampu bekerja lebih maksimal sehingga kita menjadi lebih sehat dan tidak mudah sakit.

Tuesday 16 April 2013

Nasehat Ummi




Catatan Untuk Annakku:



                   Anakku, ada kekhawatiran yang hinggap di hati ini. Umi bukan manusia yang sempurna, umi pun masih belajar menjadi manusia yang baik dan bijaksana. Namun umi ingin engkau kelak bisa menjadi manusia yang baik, hamba Allah yang beriman dan taqwa. Cukup Allah tujuan kita, cukup hanya keridhoan-Nya. Seperti nasehat Abi, “Apapun pandangan manusia yang penting Allah ridho”. Betul sayang! Apapun yang kita lakukan niatkanlah dalam hatimu hanya untuk meraih ridho-Nya, karena sebesar apapun, sebanyak apapun, sekuasa apapun dirimu bila Allah tidak ridho maka apa yang kamu miliki itu tidaklah akan berguna. Tapi bila Allah ridho, walaupun kecil atau sedikit maka akan membawa banyak manfaat dan berkah bagi kita. Kekhawatiran umi bukanlah karena takut kehilangan dunia ini. Umi khawatir tak sempat mengenalkan atau mengajarkanmu agama yang sempurna ini. Umi tidak tahu apa yang akan terjadi kelak, berapa lagi jatah usia umi, berapa banyak nafas lagi yang berhembus dari dada ini.
                   Ingatlah sayang, bahwa kehidupan sebenarnya bukanlah didunia ini tapi akhirat nanti lah kehidupan yang abadi. Dunia ini adalah ladang kita untuk memperoleh tempat yang terbaik yang kita harapkan di akhirat nanti, maka janganlah tergoda dengan kesenangan sesaat, jangan sampai terjebak dalam dosa yang tampak indah dimata, jangan sampai terbuai dalam kemaksiatan yang tampak sepele. Waspadalah!! Karena satu kemaksiatan akan menarik kita kepada kemaksiatan-kemaksiatan yang lain sehingga akan semakin menambah lumbung dosa kita. Naudzubillah... Namun bila langkahmu tersandung dalam perbuatan salah segeralah berpegang kepada-Nya, segeralah beristigfar, segeralah bertobat dan bangkitlah untuk menghisab diri, bermuhasabah dan memperbaiki langkah-langkahmu agar tak terjatuh. Waspadalah! Karena di hari nanti kita akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan kita sendiri, begitupun umi dengan segala tanggungjawab termasuk amanah sebagai seorang ibu.

QS.Lukman 31: 33Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah 

                   Anakku, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang sering berkeluh kesah, kikir, bahkan sering berputus asa kalau sedang diuji dengan kesedihan, kepahitan, dan kesulitan. Namun suka sombong kalau diuji dengan kebahagiaan. Maka waspadalah dengan sikapmu dalam menghadapi kehidupan ini.
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berputus asa dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir.” QS.Al Maarij :19-22
Rumus untuk mengobati sifat buruk ini adalah dengan mendekatkan diri kepada  Allah Swt agar kita disa bersyukur dan bersabar.  Seperti yang tersirat dalam firman Allah Swt:
“Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” Qs.Al Maarij :22-23
Nabi Saw Bersabda, “Sungguh menakjubkan perilaku orang yang beriman, apapun yang menimpanya akan menjadi kebaikan. Kalau ditimpa kesusahan ia bersabar, dan kalau ditimpa kebahagiaan ia bersyukur.”
                   Anakku, jalan kehidupan ini memang tidak selalu mulus. Ada lembah, bukit-bukit terjal, lautan luas, dan jalanan yang berliku yang harus siap kita hadapi. Namun jangan pernah takut ataupun gentar dengan tantangan dunia ini, selama kau masih memiliki iman dan taqwa serta selalu berpegang kepada tali Allah Swt, yakinlah “Innallaha ma ana”. Allah selalu bersama kita, Allah akan senantiasa menolong hamba-hambaNya. Apapun cara dan bentuknya, pertolongan Allah itu nyata, walaupun sering tidak kita sadari. Maka jadikanlah hidupmu semata-mata hanya untuk mendapatkan cinta-Nya.
“Bila Allah telah mencintai seorang hamba, maka matanya adalah pandangan-Nya, kakinya adalah langkah-Nya, mulutnya adalah lisan-Nya...”

Sebagaimana pesan Rasulullah Saw kepada Abdullah bin Abas, maka ingatlah selalu :
Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu). Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia)berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan sampai dan mencelakakanmu). Pena telah diangkat, dan telah kering lembaran-lembaran”.

                   Harapkanlah selalu cinta-Nya karena dengan mencintai-Nya takan sia-sia. Hanya cinta-Nya yang tak pernah habis, mencintai-Nya tak akan kecewa karena tak pernah bertepuk sebelah tangan. Cintailah dengan ketaatan yang sempurna ...
                   Anakku, Umi ingin engkau kelak menjadi  manusia yang baik, hamba Allah yang beriman dan taqwa seperti yang umi harap sebelum kelahiranmu. Jadilah penerang, penyejuk mata dan hati orang-orang disekitarmu, beramar ma’ruf nahi munkar. Waspadalah terhadap dunia dan perhiasannya, jangan sampai terbuai dan terjerat dalam perangkapnya. Berpegang hanya kepada-Nya, cukup hanya Allah tujuan kita. Semoga kalianmenjadi anak yang sholeh-solehah, dan kita berkumpul dalam surga-Nya nanti, Ammin.