Thursday 21 May 2020

Resume Parenting (FBE)





๐ŸŒฑ“Bayi bukan kertas kosong, mereka sudah diinstall macam-macam kebaikan oleh Allah.”

Jadi, pertanyaan yang coba kita ajukan pada diri sendiri:
“Mana yang lebih mudah: mendidik anak menjadi shalih atau nakal?”
Ternyata shalih itu fitrahnya setiap anak, setiap kita juga berarti pada dasarnya suka dengan kebaikan. Maka dengarkan kata hatimu… Dengarkan fitrahmu…

FITRAH PERSONAL POTENCY
๐ŸŒฑFitrah iman
๐ŸŒฑFitrah bakat
๐ŸŒฑFitrah belajar
๐ŸŒฑFitrah estetika dan bahasa
๐ŸŒฑFitrah individual dan sosial
๐ŸŒฑFitrah seksualitas
๐ŸŒฑFitrah perkembangan
๐ŸŒฑFitrah jasmani




Tidak ada cerita anak yang salah gaul, adanya anak yang salah pola asuh.
Anak-anak yang diasuh dengan benar >> memiliki imunitas pada lingkungannya.
Anak-anak yang selesai dengan dirinya >> dia hanya akan mengakses kebaikan-kebaikan.

๐ŸŒฑFitrah yang diasuh dengan baik akan menjadikan seorang “agent of change” >> change maker >> lahir peran dalam peradaban.
Gak ada orang yang gak suka belajar, semua orang suka belajar >> fitrah.

Fitrah iman + fitrah belajar >> ghiroh melakukan perubahan dalam kebenaran dan kebaikan, lalu menghasilkan karya yang solutif dan sebuah inovasi.

Semua fitrah harus tumbuh bersama, kalo ada yang kurang satu maka akan menjadi masalah.

๐ŸŒฑHow to grow the fitrah?
Gak tiba-tiba fitrah berubah menjadi cita-cita/peran.
Usia 0-6 tahun >> Ajak anak jatuh cinta dengan Allah, Rasulullah, belajar, dan ortu. Hargai individualitasnya. Amati sifatnya.
Usia 7-10 tahun >> Cobalah berbagai macam aktivitas yang relevan dengan sifat anak sehingga tumbuh penyadaran potensi. Temukan aktivitas yang membuat anak: enjoy-easy-earn. Pengamat terbaik setiap anak adalah orangtua masing-masing. Bisa menggunakan tools = talents mapping.
Usia 11-14 tahun >> Kokohkan dengan ujian kehidupan, misalnya biarkan anak merantau, latihan investasi. Orangtua harus tega! Tega boleh tapiii kalo tahap sebelumnya beres ya.
Usia >15 tahun >> Biarkan anak mandiri = analoginya dibiarkan tumbuh di tanah seperti pohon, mereka sudah bukan tunas lagi.

๐ŸŒธ
“Fokuslah pada cahaya anak, bukan pada kegelapannya.”
๐ŸŒธ

๐ŸŒฑFITRAH terdiri dari:
¼ genetis
¼ tempat dilahirkan (Indonesia)
¼ zaman ia hidup (abad 21)
¼ kitabullah

Syariah = proses dari aqidah.
Fenomena:
Orangtua jatuh cinta pada aqidah, kebaikan dan kebenaran di masa mudanya. Tapi ketika mereka sudah berkeluarga, mereka mengajarkan aqidah pada anak-anaknya dengan cara pemaksaan. Mereka mau instan, padahal itu butuh proses. Bangun aqidah di masa awal dengan cara yang lembut dan halus.

๐ŸŒธ
Karena kepatuhan tanpa kecintaan maka akan pudar.
๐ŸŒธ

Jangan sampaikan agama dengan keras, biarkan agama menyentuh hati. Inilah yang menumbuhkan niat = sesuatu yang tumbuh dari dalam.
✏✏✏


๐ŸŒฑKESIMPULAN๐ŸŒฑ
1. Mendidik anak adalah tugas orangtua
Bukan tugas sekolah/lembaga les, dsb. Sekolah itu adalah tempat pengajaran.
Jangan pernah serahkan sepenuhnya pendidikan anak pada lembaga.

2. Syarat mendidik anak = syukur.
Sifat-sifat anak itu harus disyukuri >> lihat sisi cerahnya.
Tidak mungkin Allah menciptakan anak tanpa masa depan yang cerah.

3. Kita adalah versi terbaik orangtua untuk ana-anak kita.
Jika Allah memberikan 10 anak >> Allah juga menginstall ilmu parenting dalam diri kita sejumlah anak tersebut.

4. Raise your child, raise your self.
Jangan pernah salahkan masa lalu, misalnya kita tidak suka dengan pola pengasuhan orangtua kita >> berdamailah dengan masa lalu.

Ingatlah ini:
“It takes a village to raise a child.”
-African proverb-

Penutup:
Deraskan maknamu, bukan tinggikan suaramu.
Karena hujanlah yang menumbuhkan bunga-bunga, bukan petir dan guruhnya.
-Ust. Harry Santosa-


#karyakreatifcendekia
#smkcendekiabatujajar

Saturday 9 May 2020

Menjaga Pergaulan


.
๐Ÿ–‹️ Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Tidaklah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan kecuali setan akan menjadi yang ketiga." (HR Tirmidzi 2165, Ahmad (1/26)

Setan tidak pernah mengajak berzina tapi setan cuma memberikan jalan untuk mendekatinya. Setan itu datang ketika ada peluang,Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda yag artinya: Telah ditentukan atas anak Adam (manusia) bagian zinanya yang tidak dapat  dihindarinya : Zina kedua mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lisan adalah berbicara, zina tangan adalah dengan meraba atau memegang (wanita yang bukan mahram), zina kaki adalah melangkah, dan zina hati adalah menginginkan dan berangan-angan, lalu semua itu dibenarkan (direalisasikan) atau didustakan (tidak direalisasikan) oleh kemaluannya.

๐Ÿ–‹️
Semoga Allah SWT senantia menjaga dan menolong kita dari kemaksiatan .. aamiin yra


#karyakreatifcendekia
#smkcendekiabatujajar

Thursday 30 April 2020

Menghilangkan Ghil



Ghil adalah perasaan tidak suka beriring sakit di hati melihat orang lain, tanpa ada hujjah syar’i yang dapat dibenarkan, meskipun seseorang dapat mencari-cari pembenaran. Ini bukan lagi hasad terhadap nikmat yang ada pada seseorang, tetapi perasaan tidak suka kepada orangnya dan atas sebab itu ia bahkan dapat menderita batin. Padahal orang tersebut tidak melakukan keburukan maupun kejahatan kepadanya.
Jika orang memiliki ghil terhadap orang lain yang ia menganggapnya bukan kebencian pribadi melainkan semata karena kerusakan agamanya, maka segala fakta dan hujjah akan kehilangan makna. Yang menyelisihi keinginan merupakan alasan kuat untuk membenci, sementara tatkala didapati sesuai harapan tetap saja tidak memuaskan karena dianggap sebagai upaya mengelak. Ketika ada ghil, maka yang sedikit saja kesalahan akan menjadi cacat yang besar, sementara kebaikan yang besar tak bermakna baginya.

Maka alangkah besar pelajaran yang kita dapatkan dari kaum Muhajirin dan Anshar. Mereka saling mencintai karena Allah Ta’ala dan menolong satu sama lain dengan tulus karena ikatan iman. Mereka pun mendo’akan orang-orang yang lebih dulu dalam keimanan  (ุณَุจَู‚ُูˆู†َุง ุจِุงู„ุฅِูŠู…َุงู†ِ), yakni para sahabat yang lebih awal dan orang-orang beriman sebelumnya. Begitu penjelasan yang saya dapatkan dari As-Sa’di dalam tafsirnya.
Mari kita renungi sejenak do’a yang Allah Ta’ala abadikan dalam Al-Qur’anul Kariim:
ุฑَุจَّู†َุง ุงุบْูِุฑْ ู„َู†َุง ูˆَู„ِุฅِ ุฎْูˆَุงู†ِู†َุง ุงู„َّุฐِูŠู†َ ุณَุจَู‚ُูˆู†َุง ุจِุงู„ุฅِูŠู…َุงู†ِ ูˆَู„ุงَ ุชَุฌْุนَู„ْ ูِูŠ ู‚ُู„ُูˆุจِู†َุง ุบِู„ุงًّ ู„ِู„َّุฐِูŠู†َ ุกَุงู…َู†ُูˆุง ุฑَุจَّู†َุง ุฅِู†َّูƒَ ุฑَุกُูˆูٌ ุฑَุญِูŠู…ٌ
O Tuhan kami, ampuni dosa kami dan dosa saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam iman, dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami ghil (perasaan dengki dan dendam) terhadap orang-orang yang beriman. O Tuhan kami, sesungguhnya Engkau amat melimpah belas kasihan dan rahmat-Mu.” (QS. Al-Hasyr, 59: 10).

Salah satu nikmat yang sangat besar di surga adalah dibersihkannya hati para ahli surga sehingga tidak ada ghil sedikit pun di hati mereka. Ghil yang sedikit? Merasa tidak nyaman, kurang terima atau sesak di dada terhadap orang lain. Semisal mendapati orang lain memperoleh lebih banyak kemudahan atau kesuksesan, padahal ia kalah ilmu atau bahkan kita yang mengajari. Tetapi ia lebih dipercaya, lebih dipandang orang. Jika kita merasa kurang nyaman atau agak sesak hati terhadapnya, itulah ghil yang ringan. Jika dibiarkan, akan berubah menjadi hasad yang sesungguhnya atau ghil yang lebih berat.

Tips menghilangkan ghil:
1. Berdoa, sebagaimana tercantum dalam QS.Al-Hasyr, 59: 10.
2. Bersilaturahmi dan bersalaman
3. Saling memberi hadiah

Semoga Allah Ta’ala kepada kita hati yang bersih, aamiin yra..

Sunday 26 April 2020

Memaafkan dan Menghapus Dendam

Mencoba "Memaafkan dan Melupakan"

Memaafkan adalah suatu hal yang lebih berat dari meminta maaf, sebab dengan memaafkan kita mencoba untuk mengikhlaskan keburukan yang dilakukan oleh orang lain kepada kita. Ternyata di balik beratnya memberikan maaf kepada orang lainlah, manusia benar-benar bisa memahami sifat-sifat baik yang dimiliki oleh Allah, yakni memaafkan segala perbuatan manusia tidak peduli sebesar apapun kesalahan itu.

Namun ada dua hal yang perlu diketahui bagaimana kita hendaknya memberikan maaf kepada orang lain. Pertama, memaafkan itu sendiri, artinya kita benar-benar rela dan ikhlas bahwa orang yang meminta maaf kepada kita pernah melakukan kesalahan yang mungkin fatal menurut kita.

Kedua, yakni melupakan kesalahan itu, terkadang banyak yang mengatakan “aku memaafkanmu, tapi tidak bisa melupakan kesalahanmu.” Kalimat tersebut mungkin sering kita dengar bahkan kita sendiri yang mungkin pernah mengucapkannya. Padahal, ketika tidak bisa melupakan kesalahan itu, berarti kita belum bisa memaafkan kesalahan tersebut.

Memaafkan dan Menerima dengan Lapang Dada Saat Disakiti

Sifat pemaaf menunjukkan bahwa kita memiliki kekuatan untuk menahan hawa nafsu meskipun sebenarnya kita dapat melampiaskannya. Allah berfiman dalam surat Asy Syuraa dan Al-A’raf ,“Barangsiapa yang memberi maaf dan melakukan kebaikan, maka pahalanya di sisi Allah.” (QS. Asy Syuuraa: 40).

Di lain surat, Allah SWT juga berfirman, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (al-A’rรขf:199).

Ketika kita mulai merasa amarah kita memuncak dan perasaan dendam muncul, baiknya kita mengikuti anjuran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam untuk berwudhu.

Bermuhasabah dan Beristighfar

Kedua hal ini adalah cara intropeksi diri yang sangat dianjurkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, agar kita selalu mengingat dosa apa yang telah kita perbuat setiap harinya. Mungkinkah kita pernah menyakiti orang lain melalui lisan atau perbuatan kita dengan cara yang sama seperti apa yang kita rasakan?

Mengingat Kemuliaan dari Allah bagi Hamba yang Pemaaf

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya.” (HR. Muslim no. 2588).

Kemudian, diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, ‘Siapakah orang yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Setiap orang yang bersih hatinya dan benar ucapannya.’ Para sahabat berkata, ‘Orang yang benar ucapannya telah kami pahami maksudnya. Lantas apakah yang dimaksud dengan orang yang bersih hatinya?’ Rasulullah menjawab, ‘Dia adalah orang yang bertakwa (takut) kepada Allah, yang suci hatinya, tidak ada dosa dan kedurhakaan di dalamnya serta tidak ada pula dendam dan hasad.’” (Ibnu Majah 4216 dan Thabarani)

Tentunya sebaik-baik akhlak adalah akhlak yang mulia kepada sesama manusia. Maka tatkala kita memaafkan kesalahan seseorang berarti kita harus bisa melupakan kesalahannya dan tetap berbuat baik kepada orang tersebut, Wallahu'alam bisawab... Semoga Allah SWT senantiasa membimbing dan menjaga kita dalam Rahmat-Nya...Aamiin yra..




Friday 24 April 2020

Meraih Ketenteraman Jiwa



Berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia semakin bertambah .Beraneka ragam bencana, masalah ekonomi,kesehatan, hingga penegakan keadilan, semua itu melahirkan  dampak kepada setiap orang, yang pada akhirnya menyulap kehidupan manusia menjadi seakan rumit dan mengganggu kenyamanan hidup terlebih ketentraman jiwa.

Ketentraman jiwa akan sangat berpengaruh besar terhadap kondisi fisik dan irama hidup setiap orang. Jika hanya fisik yang terganggu tentullah anggota fisik yang lain masih bisa difungsikan dengan baik, akan tetapi ketika jiwa terganggu semua fungsi fisik ikut terganggu bahkan tidak berfungsi dengan maksimal.

Ajaran Islam menuntun kita untuk menjaga dan mencapai ketentraman jiwa yang sering dikaitkan dengan hati atau qalbu. Qalbu adalah suatu lintasan perasaan pada diri manusia atau anggota tubuh yang abstrak dan hanya bisa dirasakan. Segumpal daging yang terletak di dalam dada manusia,sebagai tempat bertarungnya pengaruh kebaikan dan kejahatan, organ ini memiliki peranan yang sangat penting.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Bersabda :

"Ketahuilah bahwa dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik maka seluruh jasad menjadi baik, tetapi jika ia rusak maka seluruh jasad akan menjadi rusak, ketahuilah segumpal daging itu adalah hati”. (HR. Bukhari Muslim)

Segumpal daging yang dinamakan hati inilah yang membuat kita mulia atau tidak,bahagia atau sengasara.demikian juga kecemasan dan ketentraman jiwa. Oleh karena itu menjaga hati,dan mensucikan hati (tazkiyatun nafs) adalah merupakan ibadah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Hati yang selalu bersih membuat hidup kita lebih bahagia tidak pernah kecewa dengan ujian,fitnah,atau iri dengki kepada orang lain,dan selalu memandang jernih setiap masalah,sehingga pasti akan tenang penuh ketentraman jiwa dalam menjalani hidup.

Sebaliknya jika orang yang tidak menjaga hati akan bermuara pada hati terkotori dan pada akhirnya selalu tidak tenang,karena hatinya dipenuhi prasangka,rasa dengki,sombong.Orang seperti ini terlihat jelas dari akhlaqnya yang semakin terpuruk,sungguh sia-sia waktunya karena hanya sibuk memikirkan kekurangan orang lain semata.

Allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman :

“Sesungguhnya berbahagialah orang-orang yang mensucikan jiwanya dan sungguh celakalah orang-orang yang mengotori jiwanya.” (QS. Asy Syams : 9-10).

Islam menyatakan bahwa kebahagiaan, sejahteraan dan ketentraman itu bukan merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan. Kebahagiaan dan ketentraman jiwa adalah dimana kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Imam Abu Hamid Al Ghazali menyatakan “bahwa puncak kebahagiaan dan ketentraman pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ma'rifatullah, telah mengenal Allah Subhanahu wa Ta;ala.

Kebahagiaan dan ketentaraman itu akan datang dengan sendirinya jika hati telah dipenuhi iman yang kuat,dan bertindak sesuai dengan keyakinan yang kita punya itu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman :

“Karena itu, ingatlah kalian kepada-KU,niscaya AKU (ALLAH) akan ingat pula kepada kalian.Dan bersyukurlah kepada-KU,serta janganlah kalian mengingkari nikmat-KU”(Q.S. Al Baqarah : 152).

Ketentramana jiwa akan dicapai sepenuhnya pada seorang hamba,manakala ia tidak pernah meninggalkan membaca Al quran, berdzkir dan berdoa, bersabar atas keputusan-Nya melalui qadha dan qadar, tidak berputus asa atau menyerah, memohon pertolongan kepada-Nya dalam semua urusan, menyadari bahwa apa yang menimpanya adalah bagian dari taqdir-Nya, dan apa yang bukan taqdir-Nya tidak akan menimpa padanya,serta yakin bahwa dirinya tidak kuasa memberi manfaat maupun bahaya. Dengan istiqamah mengerjakan amal-amal tersebut diatas InsyahAllah seorang hamba akan merasa tentram hidup mulia penuh rahmat dalam lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Thursday 23 April 2020

Ramadhan ditengah Wabah


⭐๐ŸŒ™
Pandemi Covid-19 seakan mengisyaratkan” bersiaplah masuk ke bulan suci ramadhan dengan membersihkan diri secara lahir dan batin”. Sehingga saat Ramadhan datang, dapat menjalankan puasa dengan khusyu’, tumakninah, penuh dengan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. ⭐๐ŸŒ™

Ramadhan adalah majlis atau sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jika dimaknai lebih dalam lagi, Pandemi Covid-19 adalah cara Allah SWT untuk mesucikan diri umat manuasia dari segala dosa, maksiat, serta penyakit lahir dan batin. ⭐๐ŸŒ™

Salah satu sikap dalam menghadapi pandemi Covid-19, terutama jelang datangnya Bulan Suci Ramadan adalah dengan tidak opportunity, berharap selamat sendiri, tanpa memperpedulikan orang lain.  Hal itu dibuktikan dengan menumbuhkan rasa syukur atas nikmat bulan ramadhan, memperbanyak dzikir kepada Allah SWT, berdoa dengan penuh keikhlasan dan kesabaran untuk diri, keluarga, orang lain dan lingkungannya, terutama dalam menyambut datangnya bulan Ramadan. ⭐๐ŸŒ™

Hikmah positif dari Pandemi Covid-19, terutama jelang Bulan Ramadan sejalan dengan hadis Rasulullah SAW riwayat Muslim: 7692): ุนَุฌَุจุงً ู„ุฃู…ْุฑِ ุงู„ْู…ُุคْู…ِู†ِ ุฅِู†َّ ุฃَู…ْุฑَู‡ُ ูƒُู„َّู‡ُ ู„َู‡ُ ุฎَูŠْุฑٌ، ูˆَู„َูŠْุณَ ุฐَู„ِูƒَ ู„ุฃِุญَุฏٍ ุฅِู„ุงَّ ู„ِู„ْู…ُุคْู…ِู†: ุฅِู†ْ ุฃَุตَุงุจَุชْู‡ُ ุณَุฑَّุงุกُ ุดَูƒَุฑَ ูَูƒَุงู†َ ุฎَูŠْุฑุงً ู„َู‡ُ، ูˆَุฅِู†ْ ุฃَุตَุงุจَุชْู‡ُ ุถَุฑَّุงุกُ ุตَุจَุฑَ ูَูƒَุงู†َ ุฎูŠْุฑุงً ู„َู‡ُ
Artinya: “sangat  menakjubkan urusan orang beriman, semua urusannya merupakan kebaikan. Hal tersebut tidak dimiliki siapa pun kecuali hanya dimiliki oleh orang beriman. Apabila orang beriman mendapatkan kenikmatan, dia bersyukur, dan itu menjadi kebaikan baginya. Jika ia tertimpa musibah, dia bersabar. Dan itu juga menjadi kebaikan baginya” (HR Muslim: 7692) ⭐๐ŸŒ™
Menemukan kenikmatan dalam pandemi Covid-19 merupakan kebahagian yang tiadatara. Rasa itu akan tumbuh, jika ada setitik kebahagian dengan datangnya bulan Ramadhan. Bahagia yang tiada lain dilandasi kimanan, keikhlasan, semata-mata beribadah karena Allah SWT. Semoga Allah SWT segara angkat pandemi Covid-19, semua sehat, semua selamat, dan semua bahagia... Aamiin Yra..

Tuesday 21 April 2020

Kesabaran Bukan Pasrah dalam Ketidakmampuan



Kesabaran dalam Islam adalah salah satu ciri utama ketaqwaan seseorang pada Allah Swt karena kesabaran dianggap sebagian dari iman. Para ulama pun mengatakan bahwa kesabaran dalam Islam itu adalah bagian dari keimanan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sabar itu sangat berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan dari keimanan.

Lalu, apa hubungannya kesabaran dalam Islam dengan keimanan? Hubungan antara sabar dan keimanan sama seperti kepala dan jasadnya. Istilah ini dapat dimaknai bahwa tak ada keimanan yang tidak disertai dengan kesabaran. Sama halnya dengan jasad, yaitu tidak ada jasad yang tidak mempunyai kepala.

Kesabaran dalam Islam tidak dimaknai sebagai sebuah ketidakmampuan, pasrah atau nerimo, dan identik dengan ketertindasan. Sesungguhnya, kesabaran dalam Islam itu mempunyai dimensi yang cenderung pada pengalahan hawa nafsu di dalam jiwa manusia.

Contohnya dalam berjihad, sabar diaplikasikan dengan cara melawan hawa nafsu yang mendorong seseorang untuk duduk santai dan berdiam diri di rumah. Ketika berdiam diri inilah, seseorang belum dianggap mampu bersabar melawan tantangan serta memenuhi panggilan ilahi.

Kesabaran pun mempunyai dimensi untuk mengubah sebuah kondisi tertentu, baik itu yang bersifat individu ataupun bersifat sosial, menuju ke arah perbaikan agar lebih baik dan semakin baik. Bahkan, seorang individu dapat dianggap tidak sabar saat dirinya mengalami sesuatu yang buruk, menyerah begitu saja, dan pasrah dengan keadaan tersebut.

Sementara itu, sabar dalam ibadah tercermin dalam bentuk perlawanan dan berusaha sekuat tenaga untuk bangkit dari tempat tidur, lalu berwudu dan pergi ke masjid untuk melakukan salat berjamaah. Degan demikian, kesabaran dalam Islam bukanlah sebuah aktivitas yang bersifat pasif, tetapi kesabaran mempunyai nilai keseimbangan antara sifat aktif dan sifat pasif.

Makna Kesabaran dalam Islam

Sabar adalah sebuah istilah yang bersumber atau diambil dari bahasa Arab, yaitu berasal dari kata shobaro yang kemudian membentuk masdar atau infinitif menjadi shabaran. Sementara itu, sabar dari segi bahasa artinya 'menahan dan mencegah'. Makna sabar ini juga diperkuat dalam Al-Quran Surat Al-Kahfi ayat 28, yaitu:

"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (Q.S. Al-Kahfi: 28)

Perintah untuk bersabar yang terkandung dalam ayat tersebut maknanya yaitu senantiasa menahan diri dari keinginan untuk keluar dari kelompok orang-orang penyeru Rab-nya dan selalu mengharap keridaan-Nya. Perintah bersabar dalam surat tersebut juga sekaligus untuk mencegah keinginan manusia yang berniat bergabung dengan orang-orang yang lalai mengingat Allah Swt.

Sabar dari segi istilah dapat diartikan menahan diri dari sifat gundah serta dari rasa emosi, menahan lisan atau perkataan dari keluh kesah, dan menahan seluruh anggota tubuh dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah.

Berkaitan dengan masalah sabar, Amru bin Usman menjelaskan bahwa kesabaran dalam Islam itu berupa keteguhan bersama Allah dan menerima cobaan dari Allah dengan lapang dada. Hal yang sama pun dikatakan oleh Imam Al-khowas. Ia mengatakan bahwa kesabaran merupakan refleksi dari keteguhan dalam rangka merealisasikan Al-Quran dan sunnah.

Pada intinya, sabar itu sama sekali tidak identik dengan sikap ketidakmampuan dan kepasrahan. Sebaliknya, orang-orang yang memiliki sikap tersebut dapat dikatakan tidak sabar dalam mengubah kondisi yang dialami, tidak sabar berusaha, tidak sabar untuk berjuang, dan lain-lain.

Nabi Muhammad saw., mengingatkan seluruh umatnya untuk selalu bersabar saat berjihad. Jihad pada waktu itu adalah memerangi musuh-musuh Allah dengan cara berperang dan memakai senjata. Artinya, berjihad melawan musuh Allah memerlukan kesabaran karena adanya keinginan jiwa untuk bermalas-malasan daripada berjihad.
Sabar dalam jihad pun dapat diartikan sebagai keteguhan menghadapi musuh dan tidak melarikan diri dari peperangan. Orang yang melarikan diri dari peperangan dengan alasan takut merupakan cerminan ketidaksabaran.

Bentuk-bentuk Kesabaran dalam Islam

Ulama-ulama membagi bentuk kesabaran dalam Islam menjadi tiga, yaitu sabar di dalam ketaatan pada Allah, sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat, dan sabar menghadapi cobaan dari Allah. Berikut penjelasan ketiga bentuk kesabaran dalam Islam tersebut.

1. Sabar dalam Ketaatan pada Allah
Mempraktikkan ketaatan pada Allah Swt.,memang memerlukan kesabaran sebab pada dasarnya jiwa manusia itu cenderung enggan untuk beribadah dan berbuat ketaatan. Berdasarkan penyebabnya, ada tiga unsur yang melatarbelakangi sulitnya manusia untuk bersabar.
  1. Adanya rasa malas seperti ketika melaksanakan ibadah salat.
  2. Adanya sifat kikir atau bakhil seperti tidak melaksanakan zakat dan infaq.
  3. Malas dan kikir seperti keengganan untuk haji dan berjihad.
Sementara itu, diperlukan beberapa hal untuk bisa merealisasikan sabar dalam ketaatan pada Allah.
  • Kondisi atau keadaan sebelum melaksanakan ibadah berupa memperbaiki niat, yakni dengan keikhlasan. Ikhlas adalah bentuk kesabaran dalam menghadapi "duri-duri" riya.
  • Kondisi saat melakukan ibadah, yaitu agar tidak sampai lupa kepada Allah ketika melakukan ibadah dan tidak malas mengaplikasikan adab serta sunah-sunahnya.
  • Kondisi setelah selesai melakukan ibadah, yakni tidak mempersoalkan ibadah yang sudah dilaksanakan dengan tujuan diketahui orang lain atau mendapat pujian dari orang lain.

2. Sabar Ketika Meninggalkan Kemaksiatan
Meninggalkan perbuatan maksiat pun memerlukan kesabaran yang sangat besar, khususnya perbuatan maksiat yang sangat mudah dilakukan, misalnya berdusta, melihat sesuatu yang dilarang, ghibah (ngrumpi), dan perbuatan lainnya. Manusia itu mudah melakukan maksiat karena memang pada dasarnya jiwa manusia itu suka terhadap hal-hal yang buruk dan "menyenangkan". Hal-hal yang menyenangkan inilah yang identik dengan perbuatan maksiat.

3. Sabar Menghadapi Cobaan dan Ujian dari Allah
Manusia itu harus selalu sabar ketika diberi cobaan dan ujian dari Allah Swt., seperti mendapat musibah, baik itu berbentuk materi maupun nonmateri, contohnya kehilangan harta kekayaan, kehilangan orang yang sangat dicintai, dan musibah lainnya.

Tip untuk Meningkatkan Kesabaran dalam Islam

Isti'jal atau ketidaksabaran adalah salah satu bentuk penyakit hati yang harus diantisipasi sekaligus diterapi sejak dini. Alasannnya karena ketidaksabaran ini mempunyai dampak negatif terhadap amalan yang dilakukan seseorang, misalnya jatuh ke dalam perbuatan maksiat, hasil yang tidak maksimal, tidak mau menjalankan ibadah pada Allah, dan lain sebagainya. Oleh sebab itulah, dibutuhkan tip-tip untuk meningkatkan kesabaran.

Berikut tip-tip untuk meningkatkan kesabaran:
  • Selalu mengikhlaskan niat kita pada Allah. Ingatlah selalu bahwa semua perbuatan yang dilakukan semata-mata hanya untuk Allah Swt. Niat seperti ini akan menumbuhkan sikap kesabaran kepada Allah.
  • Memperbanyak membaca Al-Quran. Untuk meningkatkan kesabaran, perbanyaklah membaca Al-Quran setiap waktu (pagi, siang, sore, dan malam hari). Tapi, jauh lebih baik lagi jika membaca Al-Quran disertai dengan perenungan serta pentadaburan makna-makna yang terkandung di dalamnya sebab Al-Quran adalah obat hati. Zikir kepada Allah pun termusuk obat hati.
  • Memperbanyak puasa sunnah. Puasa adalah sebuah ibadah yang mampu menekan hawa nafsu, khususnya yang bersifat syahwati terhadap lawan jenis. Puasa pun termasuk ibadah yang secara khusus mampu melatih kesabaran seseorang.
  • Mujahadatun nafs, yakni usaha yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan maksimal untuk mengalahkan semua keinginan jiwa yang lebih condong terhadap hal-hal negatif seperti kikir, pemarah, malas, dan sebagainya.
Itulah sebagian sketsa tentang kesabaran dalam Islam. Sabar adalah salah satu karakter dan sifat orang mu'min. Oleh sebab itu, mari kita berupaya semaksimal mungkin menggapai sikap sabar.